MAMA LUPA JEMPUT


Aku membesarkan putriku seorang diri. Seorang remaja pemarah, pemilik darah ayahnya. Dapat kusimpulkan begitu karena aku merasa sebagai seorang wanita yg lemah lembut. Sering aku mengalah dan memberi apa yg putriku mau demi keutuhanku dan dia.

Pernah ketika, aku janji. Jemput anakku, pulang sekolah. Tp aku lupa. Teringat akan sifatnya yg pemarah membuat aku langsung bergegas ke sekolahnya. Kucari dan selalu kucari, ternyata sedang di kantin sekolah, ngobrol bersama teman – teman. Saat anakku melihatku datang, anakku seolah meniupku. Setelah itu dia tampar aku. Aku belum pernah melihat dia semarah ini sebelumnya.

Aku terkejut akan reaksiku yg bahkat tdk melawan, membantah atau mencoba menghentikannya. Aku hanya menundukan kepala dan mencari alasan. Sikapku ini rupanya membuat dia tak berkenan, memarahiku dan menjewer telingaku. Telingaku terus dijewer dan aku diseret hingga ke mobilku. Aku tak mencoba menghentikannya. Yg kulakukan hanyalah mengikuti dan merintih menahan sakit di telinga.

Melewati tempat sampa, anakku menghentikan langkah. Dia memerintahkanku agar melepas cdku dan melemparkan ke tempat sampah tersebut.


“Tp Na, …” aku mencoba berdebat.

Namun telingaku malah dijewer makin keras. Hingga aku terpaksa berjinjit. Aku memang pendek, kira – kira seratus lima puluh centimeter. Sedang anakku kira – kira seratus delapan puluh centimeter. Benar – benar seperti ayahnya. Anakkk kembali menyuruhku.

Sekali lagi aku menuruti perintahnya dgn mudah. Kuturunkan cd dari rokku hingga pergelangan kaki. Dia melepas telingaku, aku membungkuk utk mengambil cdku. Saat aku membungkuk, anakku mengangkat rokku, hingga semua yg melihat pasti melihat pantatku. Aku lantas membuang cdku disertai tawa dari orang – orang. Setelah itu, anakku menyeretku lagi ke mobil. Kuharap amarah anakku bakal reda dlm perjalanan pulang. Namun ternyata malah mengomel terus. Dia jg bilang bahwa aku mesti dipukul begitu sampai di rumah. Kurasa anakku sedang bercanda.

Kami sampai di rumah. Namun sebelum masuk, anakku menyuruhku melepas semua pakaian.

“Tp Na …” aku mencoba lagi. Hasilnya, anakku menamparku lagi. Pipi kiri dan kanan. Aku lantas menuruti perintahnya, membuatku terkejut betapa mudah aku menurut. Aku menangis terisak.

Di dlm, aku disuruh berdiri menghadap dinding. Kudengar putriku seperti sedang sibuk, namun aku tak berani menoleh.

“Sini!” perintahnya.

Aku lantas mengikutinya ke kamar tidurku. Aku ketakutan saat melihat apa yg ada di kasur. Di kasur terdapat sisir, bet pingpong, pemukul kasur dan pecut hiasan dinding. Aku gugup, aku mencoba menenangkannya namun malah membuatnya meraih putingku, meremas dan memutarnya hingga aku menjerit kesakitan. Aku akan biarkan saja putriku memukulku, siapa tahu akan reda amarahnya setelah itu.

Putriku menyuruhku berbaring di kasur. Di tengah kasur terdapat selimut dan diatas selimut terdapat bantal. Aku berbaring di atasnya membuat pantatku seperti terangkat. Lantas putriku mengikat tangan dan kakiku dan tali itu diikat ke kaki ranjang membuatku tak berdaya dan seperti huruf X.

Putriku mengambil sisir dan langsung memukulkannya pada pantatku. Setelah beberapa pukulan, aku menangis dan meminta belas kasihnya. Namun efeknya berbanding terbalik dgn yg kuharap. Putriku malam memukulkan sisir makin menjadi. Saat pukulan berhenti, air mataku jatuh tak tertahankan. Namun putriku langsung mengganti sisir dgn bet pingpong dan kembali menampar pantatku. Rasanya seperti seratus tahun aku dipukuli hingga berhenti. Pantatku serasa terbakar panas. Suara yg terdengar di kamarku hanyalah tangisanku dan suara nafas putriku yg berat.

Beberapa saat kemudian putriku mengambil pemukul kasur. Saat dipukul aku menjerit shok. Hingga saat putriku berhenti, setelah beberapa menit baru aku bisa menenangkan diri. Namun begitu, aku tak hentinya menangis.

Putriku meninggalkan kamar dan perlahan aku berhenti menangis. Setelah beberapa saat, putriku kembali. Kucoba berbalik melihat apa yg akan putriku lakukan. Tp aku disuruh terus menatap ke depan. Putriku mendorong pantatku. Sebelum aku menyadari betul apa itu, sesuatu telah masuk terpasang di anusku. Aku tentu saja kembali menjerit.

Lantas putriku memasukan dildo ke meqiku, yg anehnya sdh basah, dan mulai mengentotku dgn dildo itu. Putriku jg mengocok sumbat anus sambil mengocok dildo. Reaksi yg kuterima benar – benar mengejutkanku. Ternyata aku hampir keluar. Saat putriku menyadarinya, dia tertawa lantas menghentikan aksinya. Putriku kembali memukul pantatku, membuat orgasmeku yg hampir datang kembali menjauh.

Putriku kembali ngocok dildo dan sumbat anus seperti sebelumnya, namun saat aku akan keluar putriku menghentikan kocokan lantas memukul pantatku. Putriku beberapa kali mengulangi hal itu membuatku frustasi.

“Kalau lu mau keluar lu mesti minta sama gw!” perintah putriku.

Aku mendadak lupa sopan santun, martabat dan kehormatan. Aku sungguh ingin keluar.

“Oh Na, biarin mama keluar,” aku memohon.

Putriku tertawa. Setelah itu dia kembali ngocok dildo dan sumbat anus hinga aku keluar. Setelah aku keluar, putriku pergi tanpa melepas dildo dan sumbat anus.

Aku dibiarkan sendiri entah selama beberapa saat. Mukin satu jam kemudian putriku kembali lantas mencabut dildo dan ikatanku. Namun sumbat anus masih terpasang. Aku yakin putriku telah puas. Namun rupanya putriku menyuruhku berbalik. Aku lantas terlentang. Pantatku kembali terasa sakit karena luka pukulan tadi.

Putriku lantas memegang pecut. Aku bahkan lupa tentang itu. Putriku lantas memecut toketku dgn pecut hiasan utk dinding. Bahkan beberapa kali mengenai putingku. Perutku pun tak luput dari cambukannya. Terus pahaku hingga aku kembali berair mata.

Putriku lantas naik ke kasur dan berdiri di atasku. Diantara kakinya terdapat tubuhku. Apa yg akan dia lakukan, aku bertanya – tanya. Putriku lantas menyeret ujung pecut hingga mengenai meqiku. Aku lantas menyadari mana yg akan dicambuk.

“Jangan Na, jangan,” teriakku panik.

Sia – sia sdh, aku berteriak. Sepuluh pecutan membuatku berteriak sambil nangis memohon belas kasihnya.

“Sekarang siapa yg merintah di rumah ini?” tanyanya.

Aku bingung, apa yg harus aku katakan. Beri aku ide… beri aku ide…

Putriku kembali mencambuku sepuluh kali, lantas mengulangi pertanyaannya.

Aku tak ingin dicambuk lagi, lantas kujawab, “kamu Na, kamu yg merintah di rumah ini.” Aku tak tahu apakah jawabanku benar. Namun itulah satu – satunya yg bisa kupikirkan.

Putriku tertawa puas. Aku yakin jawabanku benar.

“Siapa yg bakal ngelakuin apa yg gw perintahkan?”

Aku tak langsung menjawab. Akibatnya aku kembali dipecut sepuluh kali. Aku berteriak,

“mama yg bakal ngelakuinnya.” Hatiku melara – lara, memang begini maunya. Aku menjawab agar gak dicambuk lagi.

Putriku melepas cambuk dari genggaman tangannya, membuka sleting celana jin dan melepas celananya serta cdnya. Setelah itu dia berlutut di atas wajahku. Dia menjambak rambutku dan berkata,

“jilat meqi gw anjing.” Putriku menarik kepalaku ke meqinya.

Aku tak pernah menjilati meqi sebelumnya. Aku ragu – ragu meski mulai menjilatinya. Namun aku ingin menyenangkannya, jadi kujilat sebisaku. Rupanya jilatanku cukup bagus karena tak mala kemudian putriku teriak akan segera keluar. Putriku menekankan meqi ke kepalaku begitu dlm hingga aku tak bisa bernafas. Aku takut mati lemas. Aku lega saat akhirnya putriku melepaskan tangan di kepalaku. Ada sedikit kebanggaan bisa memuaskannya.

Putriku lantas duduk di sampingku dan kembali mengambil pecut. Aku merasa ngeri takut dicambuk lagi. Namun putriku malah memberitahuku aturan baru rumah ini. Mulai sekarang aku hanya boleh memakai pakaian serba pendek/mini, seperti rok mini, daster mini, celana pendek. Satu – satunya rambut yg boleh tumbuh hanyalah yg ada di atas kepalaku, lain dari pada itu tdk boleh ada. Selain itu, aku jg harus jadi tempat pembuangan putriku dan teman – temannya kapan pun dan di mana pun. Aku setuju dan ikatanku dilepas.

Kurasa esok akan kembali normal.

Perlakuanku rupanya bukan emosi sesaat putriku. Esok paginya setelah aku buang air besar, sumbat anus kembali dipasangnya dan aku disuruh membuang semua pakaianku. Ternyata tdk semua, aku diizinka memakai kaos yg begitu ketat. Bahkan hampir tak bisa menutupi meqiku. Sebelum sekolah, putriku mengambil semua uangku, bahkan membawa mobilku. Yg lebih buruk lagi, aku disuruh menemuinya di sekolah. Aku merasa ngeri memikirkan jalan ke sekolahnya, memakai kaos ketat pendek.

“Tp Na, mama tak bisa pergi hanya memakai ini,” kataku lemah.

Sebelum aku menyadari apa yg terjadi, putriku telah duduk di kursi, menarikku hingga ke pangkuannya dan mulai memukul pantatku. Sisa pukulan kemari masih sakit, ditambah sekarang, tentu makin sakit lagi. Aku lantas menangis dan memohon seperti anak kecil. Putriku tak menunjukan belas kasihnya, malah terus memukulku hingga akhirnya aku minta maaf karena tak menurut. Putriku lantas tertawa dan melepaskanku yg langsung jatuh ke lantai.

Putriku meninggalkanku menangis lalu duduk di kursi terdekat. Aku sdh lupa akan sumbat anus membuatku terkejut saat pantatku duduk di kursi. Aku angkat kembali pantatku dan menurunkannya pelan. Aku menangis mengasihani diri dan mencoba memahami apa yg terjadi pada diriku.

Kupikir aku tak mematuhinya saja, tak memakai kaos ketat, tak ke sekolahnya, kucabut sumbat anus yg tak nyaman ini. Tp rasa sakit akibat sumbat anus itu membuatku tak punya keberanian. Aku benar – benar pengecut. Perlahan aku bangkit dan mulai melakukan apa yg diperintahkan.

Beberapa saat kemudian, lemari pakaianku telah kosong. Aku terisak putus asa sambil melihat lemari kosongku. Aku lantas putuskan utk ke sekolah Ana. Aku bahkan tak memakai rok atau sesuatu utk menutupi meqiku.

Entah bagaiamana aku berhasil sampai ke sekolah anakku tanpa banyak diketahui orang. Meski harus mengendap – endap, sungguh tak nyaman rasanya jalan dgn anus tersumbat. Aku tentu tak langsung melihat Ana.

Aku diam menunggu putriku muncul utk naik mobil, namun tak muncul jua. Akhirnya aku mesti ke masuk ke sekolahnya utk mencarinya. Untungnya sekolah sdh lengang, hanya ada satu atau lima murid. Namun meski begitu mereka melihat apa yg kupakai. Tentu mereka menyadari apa yg terlihat. Beberapa murid mengejek dan bahkan memfotoku. Aku jadi benci hp berkamera.

Aku langsung ke kantin dan mendapati putriku di sana sedang ngobrol bersama teman – teman. Putriku menatapku dgn sombong, aku langsung tahu sedang berada dlm keadaan berbahaya. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya menunjuk lantai di sampingnya.

Aku tak tahu apa maksudnya, jadi aku hanya berdiri kebingungan. Karena kesal, anakku meraih rambutku dan menariknya ke lantai hingga aku berlutut seperti anjing di sampingnya. Aku bersuara akibat sakit dan takut. Mendengar suaraku teman – temannya hanya tertawa. Mereka mungkin senang melihatku, yg sdh dewasa, diperlakukan seperti ini. Yah setdknya dgn berlutut, meqiku tak terlihat orang lain.

Namun Ana lantas menyadarinya. Dia lantas memerintahkanku melebarkan paha selebar – lebarnya. Menyadari akan terlihatnya meqi membuatku memohon pada putriku agar tak melakukan ini. Namun ternyata permohonanku dijawab tamparan pipi hingga aku menagis. Kaos pendekku kini seperti terangkat hingga sepinggang. Teman – temannya tertawa mengikik. Aku sangat malu dan terhina.

Seorang guru muncul di kantin. Aku rasa Ana bakal menyuruhku menutup meqiku agar tak timbul masalah. Namun ternyata berbanding terbalik dgn apa yg kukira. Putriku melambai ramah pada guru membuat guru itu datang menghampiri. Guru itu lantas menatapku dgn angkuh.

“Kamu benar Na, pelacur itu pasti sange abis pose kayak gitu.”

Ana tersenyum dan balas bicara,

“Oh ya! Kayaknya bener – bener sange nih pelacur. Bener gak?”

Aku masih tercengang bingung apa yg harus ku jawab. Aku masih belum terbiasa dgn semua ini. Aku ragu – ragu utk menjawab hingga pipiku kembali mendapat tamparan membuatku terkejut hingga jatuh.

“Lu terangsang gak? Jawab anjing!”

Aku tak ingin ditampar lagi lantas aku kembali berlutut dan menjawab,

“saya tdk tahu Na … Nyonya.” Aku hampir lupa kalau aku mesti memanggil putriku Nyonya, dan memanggil diriku dgn saya.

“Saya tdk tahu?” dengus putriku.

“Pegang meqilu, basah gak? Dasar pelacur memang bodoh.”

Aku malu mendengarnya, apalagi mendengar tawa mencemooh. Kuraih meqiku dan mersa takjub mendapati kenyataan meqiu basah. Bagaimana bisa aku terangsang dlm keaadan seperti ini? Tp aku benar – benar basah dan tak tahu kenapa.

“Gimana?” tanya putriku.

Aku bingung, aku tak mau memberitahu orang lain kalau meqiku basah tp di sisi lain aku tak ingin ditampar lagi. Aku menghela nafas dlm dlm dan mengaku sambil berbisik, “ya nyonya, saya basah.” Putriku seperti kurang puas dgn jawabanku membuatku mengulangi kata – kataku dgn agak keras hingga terdengar orang – orang.

Semuanya tertawa membuatku jadi lebih malu. Meski aku bertanya – tanya kok bisa?

“Pelacur ini memang lucu, kapan – kapan boleh pinjem gak?” tanya guru.

“Boleh, tp kalau sdh terlatih.”

Terlatih? Aku bertanya – tanya maksud dari kata – kata putriku. Namun aku sadar sebentar lagi pasti kuketahui. Ana lantas memakaikan kalung dan memasang tali ke kalung itu. Ana menarik tali dan aku merangkak mengikutinya di belakang hingga ke mobil. Rasanya sungguh memalukan, tp lebih baik terhinda daripada dipukuli. Di sisi lain aku masih shok akan kenyataan betapa meqiku basah.

Tiga orang teman Ana mengikuti kami. Aku pun diperintah utk memanggil mereka nyonya. Ana memebuka bagasi dan menyuruhku masuk ke sana. Aku senang aku dulu tak membelik mobil pick up. Sekali lagi aku menyerah dan mengikuti perintahnya. Setelah itu kudengar Ana dan teman – temannya naik dan mobil pun melaju. Setelah beberapa saat, mobil berhenti dan putriku membuka bagasi. Kami berada di sebuah tempat parkir.

Kami naik lift dan masuk ke sebuah tempat tempat seperti salon. Kami ditemui seorang pelayan wanita yg berbadan subur. Putriku menyuruhku melepas kaos. Aku melakukannya dan berdiri telanjang. Aku lantas duduk dikursi dan diikat.

“Ya, pertama kita mesti menyingkirkan ini,” kata pelayan sambil menarik jembutku.

“Bener, biar kayak kimcil, belum berbulu,” jawab putriku terdengar antusias.

“Mau cara biasa atau menyenangkan? Menyenangkan bagi kita tentunya.”

“Menyenangkan bagaimana?” tanya putriku penasaran.

Pelayan meraih jembutku dan menariknya. Aku teriak kesakitan. Sepertinya setiap orang di toko mendengar suaraku karena setelah itu aku dikerubuti orang – orang. Sambil tertawa, pelayan, putriku dan tiga temannya bergantian menarik paksa jembutku disertai teriakanku. Orang – orang yg menonton terlihat senang hingga meqiku benar – benar botak. Pelayan lantas mengambil suntikan. Aku jadi khawatir dan memohon padanya. Namun sia – sia, begitu disuntik aku langsung tertidur.

Perlahan-lahan aku bangun, mencoba mengingat apa yg telah terjadi. Pusingku belum hilang. Aku melihat cermin dan melihat diriku. Rambutku dikuncir, meqiku tak berjembut. Postur tubuhku yg kecil merubahku dari seorang ibu menjadi seperti seroang gadis kecil. Putriku lantas muncul membawa pakaian. Aku terkejut melihat pakaiannya adalah pakaian yg biasa dipakai oleh gadis – gadis, buka oleh ibu – ibu. Melihatku yg seperti enggan membuat putriku menunjuk dinding. Di dinding itu telah terdapat cambuk dan tongkat yg menempel. Hanya dgn ancaman saja sdh membuatku memakai pakaian.

Kami kembali ke dlm toko di mana teman putriku dan pelayan menunggu. Mereka memuji putriku dan adik kecilnya yg lucu.

Hari – hari berlalu. Putriku sering membuatku bersenggama dgn teman – teman lelakinya. Aku merasa sangat malu berhubungan badan dgn abg sementara putriku dan teman – temannya menonton.

Putriku bahkan mengirimku ke jalan tempat bersarang pelacur – pelacur murah meriah. Aku diharuskan pulang membawa uang dlm jumlah tertentu. Aku tahu putriku tak begitu memerlukan uang itu, putriku menyuhuku hanya utk menunjukan siapa yg memegang kendali.

Namun yg lebih memalukan adalah saat putriku dan ketiga sahabatnya menyenggamaiku. Ya, mereka memakai alat bantu, seperti celana dlm, namun di cd itu terpasang dildo yg berukuran agak besar. Tentu aku tak boleh keluar. Namun sayangnya aku keluar jg, membuat putriku menghukum meqiku.

Baru – baru ini putriku seperti mengadakan perayaan di rumah. Aku diikat hingga berlutut dgn pantat membusung ke atas. Mereka lantas menyodomi pantatku dgn cd dildo beberapa kali. Meski sakit dan sungguh sangat merasa terhina, ternyata sangat sulit utk menahan diri agar tdk keluar. Untungnya mereka memutuskan aku pantas keluar.

Namun rupanya aku harus keluar dgn cara masturbasi. Mereka bahkan mulai bertaruh berapa kali aku keluar dlm tempo yg sesingkat – singkatnya, yaitu tiga puluh menit.

Memalukan sekali rasanya masturbasi di hadapan sekitar dua puluh abg yg matanya fokus menonton. Delapan kali aku keluar. Pemenangnya ternyata Aisah, seorang gadis tomboy dgn perawakan kecil. Dia terlihat sangat gembira.

Esoknya kembali normal, aku disuruh berpakaian layaknya abg, seperti adik baginya. Aku benar – benar benci. Entah ke mana aku di bawa, hingga sampailah aku ke sebuah rumah tua, seperti peninggalan kumpeni dgn halaman yg luas. Datang abg menyambut dan memeluk putriku. Dari pelukan dan ciumannya, bisa kulihat mereka tak layaknya seorang teman biasa. Aku jadi sedikit cemburu. Di sisi lain aku jadi malu melihat sisi lembut dan cinta putriku.

Aku tak tahu mesti ngapain saat kedua abg itu terus pelukan sambil ciuman. Lantas kuputuskan utk melihat sekeliling. Lantas kusadari ada seorang wanita di belakang gadis yg mencium putriku. Dia terlihat sama sepertiku. Bahkan memakai pakaian yg sama. Selintas, kami seperti kembar. Selama beberapa saat kami bertatapan, lantas dia tersenyum malu. Apa yg terjadi pada dirinya, apa yg terjadi pada diriku. Siapakah dia?

Putriku lantas menghentikan pelukannya dan melihat kami yg lantas menunduk. Wanita lain yg sepertiku lantas menyambut putriku, “Nyonya Ana,” katanya lantas berlutut. Untungnya aku telah mendengar siapa yg mencium putriku. Aku lantas berlutut dan bicara, “Nyonya Sandra.” Aku merasa putriku merasa bangga dan Sandra terkejut. Namun tentu aku tak melihat karena aku menunduk.

Ana mengetukkan kaki kanannya yg merupakan tanda kalau aku harus mengikutinya. Aku bangkit diikuti abg yg sepertiku. Namun kuperhatikan Sandra belum menyentukkan kaki. Sepertinya sengaja, aku lantas berbisik, “belum dulu,” pada sebelahku. Dia kembali berlutut sementara aku melangkah mengikuti putriku.

Putriku dan Sandra menoleh melihatku patuh di belakang putriku sedang gadis lain masih berlutut di tempatnya. Kini Sandra menyentakkan kaki lantas kudengar gadis lain lari hingga kini di sebelahku. Aku merasa tangannya mencari tanganku, lantas kuraih dan kami bergandgn tangan. Kami bergandgn tangan seperti putriku dan Sandra. Sepertinya kami terlihat seperti teman kecil yg lucu.

Di dlm, aku berusaha melihat – lihat. Ternyata ruang tamunya sangat besar. Kami sampai ke ruang lain, yg tak kalah mengesankannya.

“Lu tau mesti kemana,” Sandra berkata,

“bawa dia!”

“Ya nyonya,” jawabnya lantas menarikku.

Aku terkejut di bawa ke ujung dinding, di sana ada pintu tersembunyi. Di dlm, kami tetap berdiri sambil tetap berpegangan tangan. Ingin kubertanya, hatiku melara – lara, namun aku takut kita belum diizinkan bicara.

Setelah beberapa saat, dia mulai berlutut, sambil tetap memegang tanganku, lantas menarikku hingga aku ikut berlutut. Dia tak mau mepas tangannya. Bahkan dia kini mendekat padaku. Kini, dia melepas tangan dan menaruhnya di pahanya, aku mengikutinya. Kini tubuh bersentuhan. Aku baru mengalami seperti ini, jadi aku hanya diam saja.

Beberapa saat kemudian kedua nyonya kami masuk dan tersenyum melihat kami duduk. Mereka lantas menyuruh berdiri dan melepas pakaian. Sandra datang bawa tiga sepatu highheel, bukan tiga pasang. Sepatu ketiga bentuknya lebih besar. Lantas sepatu ketiga itu diisi kaki kanan gadis kecil dan kaki kiriku. Kaki itu tingginya kira – kira sepaha. Lantas sletingnya ditarik hingga pas. Aneh rasanya bersepatu bersama orang lain.

Ketatnya sepatu membuatku mesti ikut gerak andai kakinya gerak. Begitu pula sebelumnya. Belum pernah aku memakai sepatu dgn hak setinggi ini, hingga membuatku seperti berjinjit.

Belum selesai, lantas aku melihat sebuah korset aneh. Seperti korset ganda. Kami dipakaikan korset dan kini terlihat aneh, dlm korset itu tubuh kami menyatu pinggang ke pinggang. Korsetnya ditarik hingga membuatku susah bernafas. Tangan kiriku diletakan di pinggulnya, begitu jg dgn tangan kanannya.

Kini aku hanya bisa memakai tangan kanan, gadis sebelahku memakain tangan kiri. Kini terlihat kami seperti kembar siam. Dgn tiga kaki, dua kepala dan dua lengan. Kedua nyonya terlihat sangat senang hasilnya lantas memperhatikan kami.

Tanpa peringatan, putriku memecut meqiku. Aku menangis kesakitan, di sisi lain aku mencoba menjaga keseimbangan agar tak jatuh.

“Oh iya, aku lupa,” kata Sandra lantas tertawa dan melihat kami. Mungkin terlihat jelas warna merah di tempat putriku memecutku. “Bagus nih, tp kayaknya ada yg kurang.”

Aku bisa merasakan gadis ini menggigil namun aku berusaha agar tetap seimbang. Aku meringis kesakitan saat putriku memecut putingku. Gadis ini jg menangis saat putingnya dipecut Sandra. Lantas keduanya mengelilingi kami dan memecut. Yg kutau, kami selalu dipecut di tempat yg sama. Kami terus mengejang dan meringis namun tetap berusaha menahan keseimbangan. Akhirnya kami menghela nafas lega saat pecutan berhenti.

Kemudian para nyonya ngobrol, apakah kami mesti dipukul bareng atau satu -satu. Mereka lantas mesti coba, lantas mereka memukul kami satu – satu. Untungnya sdh agak seimbang hingga tak jatuh.

Putriku mulai bicara lagi,

“kayaknya kaliang ingin dekat terus ya?”

Aku tahu putriku punya pemikiran lain dan tak peduli apa pun jawaban kami. Setdknya tak pernah melakukan apa yg kukatakan. Jadi kujawab asal saja,

“iya nyonya, saya sangat ingin.” Gadis ini pun rupanya memiliki pemikiran yg sama sehingga menjawab seperti jawabanku.

“Bagus. Karena mulai kini, lu tinggal kayak gini,” kata Sandra sambil tertawa,

“lu mesti jalan, ngomong dan mikir sama – sama. Ngelakuin sama – sama. Lu adalah satu. Mungkin kami terlihat seperti bingung, beberapa waktu lalu kami tak saling kenal, namun kini mesti diikat bersama.

“Kalau kalian salah, dua – duanya dihukum. Kalau satu salah, keduanya jg dihukum.”

“Tp itu gak adil,” gadis ini mulai bicara.

“Siapa yg bilang keadilan?” putriku angkat bicara lantas memecut susuku. Sandra melakukan hal yg sama.

Gadis ini lantas memohon belas kasih diantara tangisnya.

“Lu ngerti gak?” Sandra mulai emosi.

“Ya nyonya, saya minta maaf,” jawab gadis ini terisak.

“Sentuh meqiu?” Sandra kembali merintah.

Gadis bodoh, pikirku. Dia lantas memegang selangkangannya. Tiba – tiba pipi kami ditampar.

“Maaf nyonya,” gadis itu kembali bicara.

Lantas tangannya kini memegang meqiku, yg ternyata basah. Aku bertanya – tanya kenapa meqiu basah padahal apa yg kulakukan ini sangat kubenci.

“Nah …”

“Basah nyonya.”

Aku jg disuruh menyentuh meqi gadis ini, yg ternyata sama basahnya dgnku.

“Ini jg basah nyonya,” kataku.

“Lu dua pelacur sange. Gw gak cuma ngehukum lu bareng. Jika salahsatu dari lu cukup bodoh buat bertdk atau keluar tanpa izin, maka yg gak salah bakal dihukum ganda.”

Tak adil memang, tp aku tahu mereka akan melakukan apa saja utk membuat kami keluar. Kami hanya menjawab,

“Ya nyonya.” karena tentu kami tak berani protes.

Mereka menuju pintu dan menyuruh kami mengikuti. Perlahan – lahan hingga menuju ruang kosong yg lumayan lega. Aku bertanya – tanya utk apa di sini.

“Kalian latihan di sini, latihan jalan, nunduk dan lainnya,” kata Ana.

Sandra menunjuk sebuah tombol yg letaknya cukup tinggi. Sepertinya susah utk kujangkau, “saat udah yakin bisa, tekan tombol itu, biar kita datang terus cek.”

“Iya nyonya,” jawab kami patuh, meski bingung cara utk meraihnya.

Tepat sebelum mereka berjalan keluar pintu mereka, mereka berbalik, lantas Ana berkata, “Mah, ini adik, dik ini mama. Jangan males belajarnya, karena kita bisa lihat dan dengar kalian. Paham?” Lantas mereka tertawa dan meninggalkan ruang.

Kami melihat satu sama lain.

“Hai dik,” bisikku lalu mulai memeluknya pelan.

“Mending kita mulai.”

Adik tersenyum,

“iya mah.”

Kami coba berdiri dgn pelbagai pose. Namun saat bergerak, butuh waktu lama utk menyesuaikan diri. Apalagi latihan jalan. Belum pernah kucoba sesuatu yg sesulit ini. Kami jalan terhuyung – huyung seperti sedang mabuk. Jg kami berlatih berlutut serta murangkak.

Di dinding ada gambari Ana dan Pipit, tangannya memegang papan bertuliskan ‘air.’ papan itu memiliki panah yg menunjuk pada gambar meqinya. Di gambar meqi itu terdapat lubang. Karena kami sangat haus, kami berlutut dgn kepala agak ke depan lantas menjilati lubang.

Satu detik kemudian kami menjerit terkejut, lidah kami serasa kena setrum. Kami saling pandang ngeri. Apakah ini cara baru utk menyiksa kami? Namun segera aku yakin, setrum ini bukan tanpa tujuan. Setelah keterkejutanku reda, kulihat adik hampir pingsan. Bisa makin berabe nih. “Kita mesti bareng,” teriakku sadar. Lantas kami coba lagi bareng, beberapa kali kena kejut namun akhirnya bisa jg memuaskan dahaga kami.

Kami terus latihan, jalan, lari, merangkak, berlutut.

Para nyonya datang bersama beberapa gadis lain. Mereka membawa meja dan bangku. Kami bergidik melihat bangku itu. Di bangku itu tertancap empat dildo yg, jika kita duduk, dapat dipastikan akan menancap. Namun kekhawatiran kami seakan sirna, sirna itu sempurna, saat melihat mereka jg membawa makanan. Selama proses tata menata, para nyonya memaki dan memukul gadis – gadis malang itu. Jelas keduanya sama – sama pemarah.

“Lu siapin itu,” kata Ana sambil mengangguk ke dildo.

Aku tentu paham maksudnya. Aku mesti menjilati dildo itu hingga basah. Aku meremas pelan adik lantas kami bergerak, berlutut dan menghisap dildo hingga para nyonya puas dan menyuruh kami duduk. Karena tak dapat melihat dildo, kami duduk pelan – pelan. Para nyonya tentu tak sabar dan langsung menekan tubuh kami sambil tertawa.

Di meja terdapat satu piring, satu garpu dan satu pisau.

“Ingat, lu dan lu adalah satu,” kata mereka lantas pergi.

Di piring terdapat daging. Adik mengambil garpu dan menusuk daging.

“Potong,” katanya. Aku mengambil pisau dan memotongnya. Irisan daging adik masukan ke mulutku. Proses diulangi, namun kali ini daging dimakan adik. Begitu terus hingga habis.

Setelah itu para nyonya datang dan menyuruh kami ikut. Dgn agak sulit, kami bangkit dan bergegas mengikuti mereka. Sepatu dan korset kami dibuka, namun kami belum berani menjauh.

Kami di bawa ke ruang lain yg hanya berisi kotak hitam besar. Sandra menekan suatu tombol lantas setengah kotak bagian atas terbuka menampilkan sesuatu yg sangat mengejutkan. Terdapat dua dildo. Hitam, dildonya hitam tetapi besar ukurannya.

Kami disuruh menaiki dildo itu ke anus. Aku menangis sambil mengerang hingga akhirnya tertancap seluruhnya. Setelah itu aku disuruh berbaring.

Pada adik, dia terus memohon belas kasih sambil melakukannya. Tentu itu percuma. Setelah selesai, adik menangis di sampingku.

Sandra menyumat hidungku hingga tak bisa bernafas lewat hidung. Kubuka mulutku utk bernafas. Sandra menekan saklar lain dan sesuatu tiba – tiba muncul dan memasuki meqiku. Tdk seperti dildo, entahlah karena aku tak bisa lihat.

Bagian atas kotak tiba – tiba mulai menutup kembali. Di atapnya terdapat dildo lain, tentu utk mulut kami. Aku takut mesti menghabiskan malam di dlm kotak. Dildo di meqiku mulai menggelitik. Hingga kusadari seperti berlistrik. Dildo mulut itu masuk ke mulut hingga seperti mentok.

“Tangki di memelu, kalau penuh bakal memompa isinya ke mulut lain. Jadi kalau lu kencing, yg lain mesti minum airnya,” kata Sandra.

Setelah kotak tertutup rapat, cahaya menjadi sirna. Aku sulit bernafas. Lenganku bergerak mencari lengan adik hingga tangan kami berpegangan.

0 comments:

Post a Comment








 

Cerita Sex | Cerita Dewasa | Vidio Sex © 2012 | Designed by Tagamet for warts

Thanks to: No Deposit Casino Bonus, Spielautomaten and Bajar de peso